Senin, 11 April 2011

Upaya Melestarikan Budaya

Pelestarian, dalam Kamus Bahasa Indonesia (Eko, 2006) berasal dari kata dasar lestari, yang artinya adalah tetap selama-lamanya tidak berubah. Kemudian, dalam kaidah penggunaan Bahasa Indonesia, pengunaan awalan ke- dan akhiran –an artinya digunakan untuk menggambarkan sebuah proses atau upaya (kata kerja).
Jadi berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan ke- dan akhiran –an, maka yang dimaksud pelestarian adalah upaya untuk membuat sesuatu tetap selama-lamanya tidak berubah. Bisa pula didefinisikan sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya tetap sebagaimana adanya.

Merujuk pada definisi pelestarian dalam Kamus Bahasa Indonesia diatas, maka saya mendefinisikan bahwa yang dimaksud pelestarian budaya (ataupun budaya lokal) adalah upaya untuk mempertahankan agar/supaya budaya tetap sebagaimana adanya.

Lebih rinci A.W. Widjaja (1986) mengartikan pelestarian sebagai kegiatan atau yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap dan abadi, bersifat dinamis, luwes, dan selektif (Jacobus, 2006:115).
Mengenai pelestarian budaya lokal, Jacobus Ranjabar (2006:114) mengemukakan bahwa pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif, serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
Salah satu tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah juga untuk melakukan revitalisasi budaya (penguatan). Mengenai revitalisasi budaya Prof. A. Chaedar Alwasilah mengatakan adanya tiga langkah, yaitu : (1) pemahaman untuk menimbulkan kesadaran, (2) perencanaan secara kolektif, dan (2) pembangkitan kreatifitas kebudyaaan.
Revitaliasasi kebudayaan dapat didefinisikan sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh para pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi revitalisasi maka ayat-ayat kebudayaan perlu dikaji ulang dan diberi tafsir baru. Tafsir baru akan mencerahkan manakala ada kaji banding secara kritis dengan berbagai budaya asing. (Chaedar, 2006: 18)
Pada definisinya, pelestarian adalah sebuah upaya yang berdasar, dan dsar ini dsebut juga faktor-faktor yang mendukungnya baik itu dari dalam maupun dari luar dari hal yang dilestarikan. Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan pelestarian mengenal strategi atapun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya masing-masing.
Kelestarian tidak mungkin berdiri sendiri, oleh karena senantiasa berpasangan dengan perkembangan, dalam hal ini kelangsungan hidup. Kelestarian merupakan aspek stabilisasi kehidupan manusia, sedangkan kelangsungan hidup merupakan percerminan dinamika. (Soekanto, 2003: 432)
Menjadi sebuah ketentuan dalam pelestarian budaya akan adanya wujud budaya, dimana artinya bahwa budaya yang dilestarikan memang masih ada dan diketahui, walaupun pada perkembangannya semakin terkisis atau dilupakan.
Pelestarian itu hanya bisa dilakukan secara efektif manakala benda yang dilestarikan itu tetap digunakan dan tetap ada penyungsungnya. Kapan budaya itu tak lagi digunakan maka budaya itu akan hilang. Kapan alat-alat itu tak lagi digunakan oleh masyarakat, alat-alat itu dengan sendirinya akan hilang (Prof. Dr. I Gede Pitana, Bali Post, 2003)
Mengenai proses kebudayaan dan strategi atau pola yang digunakannya, perlu untuk merujuk pada pengertian kebudayaan yang diajukan oleh Prof. Dr. C.A. van Peursen (1988:233), berikut ini :
Kebudayaan sebetulnya bukan suatu kata benda, melainkan suatu kata kerja. Atau dengan lain perkataan, kebudayaan adalah karya kita sendiri, tanggung jawab kita sendiri. Demikian kebudayaan dilukiskan secara fungsionil, yaitu sebagai suatu relasi terhadap rencana hidup kita sendiri. Kebudayaan lalu nampak sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang dijalankan oleh umat manusia.
C.A. van Peurseun memandang karena kebudayaan tidak terlaksana diluar kita sendiri, maka kita (manusia) sendirilah yang harus menemukan suatu strategi kebudayaan. Termasuk dalam proses melestarikan kebudayaan. Karena, proses melestarikan kebudayaan itu adalah pada hakekatnya akan mengarah kepada perilaku kebudayaan dengan sendirinya, jika dilakukan secara terus menerus dan dalam kurun waktu tertentu.


Sumber Pustaka :
  • Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Sunda : Interprestasi Untuk Aksi. Bandung : Kiblat.
  • Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia.
  • Peursen, C.A. van. 1988. Stategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
  • Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor :Ghalia Indonesia.
  • Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar